Marah Roesli | Wikipedia |
Marah merupakan gelar bangsawan yang diberikan keluarga ayahnya karena ibunya tidak memiliki gelar Puti (putri bangsawan). Marah Roesli masuk sekolah raja di Rofdenschool di Bukittinggi, tamat pada 1910.
Karena kecerdasan dan prestasinya, ia disarankan gurunya untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Namun, ayah-ibunya mengirim Marah Rusli melanjutkan sekolah dokter hewan di Bogor.
Selepas studinya, ia kembali ke kampung halamannya dan diminta menikahi gadis pilihan orangtuanya.Dengan keras Marah Roesli menolak dan tanpa sepengetahuan keluarganya, ia kembali ke Bogor. Pada usia 21 tahun (1911), Marah Roesli menikahi gadis Sunda kelahiran Bogor tanpa sepengetahuan dan seizin orangtuanya.
Setamat dari sekolah dokter hewan, Marah Roesli pun ditugaskan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sumbawa Besar, Bima (1916), Bandung, Jawa Barat, Blitar, Jawa Timur (1918), Bogor (1920), Jakarta (1921), Balige, Tapanuli Utara (1925), dan Solo(1946).
Selama bertugas di Sumbawa itulah lahir novelnya La Hami (1924) yang mengisahkan kehidupan masyarakat di Sumbawa. Selain Siti Nurbaya (1922), pengarang roman yang wafat pada 17 Januari 1968 itu juga menulis buku Anak dan Kemenakan (1956).
Roman Siti Nurbaya ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman di sekitar adat dan tradisi kampung halamannya, selain tentu saja pengalaman dirinya sendiri.
Apabila membaca biografi Marah Roesli, sepertinya potongan-potongan pengalaman hidup sang penulis juga masuk alur cerita Siti Nurbaya, misalnya tokoh Siti Maryam, ibunda Samsulbahri, yang bukan keturunan bangsawan sebetulnya mau menggambarkan tentang ibunda Marah Rusli sendiri.
Pemberontakan dan ketidaksetujuan Marah Roesli terhadap adat istiadat Minang diungkapkannya lewat beberapa tokoh, misalnya Ahmad Maulana dan Sutan Mahmud yang tak setuju beristri banyak atau Sutan Mahmud yang tidak mau menyerahkan tanggung jawab pembiayaan anaknya kepada saudara lelaki istrinya.
Menurut bapak kritikus sastra Indonesia H.B. Jassin, Marah Roesli dianggap sebagai penulis roman pertama dalam sejarah sastra Indonesia. Ia dianggap sebagai pembaharu dalam penulisan prosa yang ketika itu lebih banyak berbentuk hikayat. Karena itulah H.B. Jassin menggelari Marah Roesli sebagai bapak roman modern Indonesia. Sampai 2008, Siti Nurbaya sudah pada cetakan ke-44.
Sejak kecil Marah Roesli memang gemar mendengar tukang kaba berkisah dan membaca buku-buku roman dari Barat. Kegemarannya itulah yang mengasahnya menjadi seorang sastrawan ternama. (Ros/M-2)
Rubrik: JENDELA BUKU | Media Indonesia edisi Minggu, 19 Oktober 2014 | halaman 11 | *disunting seperlunya
0 komentar:
Post a Comment