Tidak ada kebahagiaan seperti yang dirasakan Murti saat melihat antusiasme anak-anak menerima buku dongeng yang ia tulis.
Foto: MI/Angga Yuniar |
''Kalau pertengahan tahun begini biasanya kegiatan lagi banyak-banyaknya. Kegiatan KPBA sekarang terus bertambah karena kebutuhan juga semakin bertambah. Banyak hal yang harus dibenahi di bidang ini,'' ujar pakar literatur anak-anak itu, membuka pembicaraan.
Setelah menekuni penelitian di bidang sastra anak sejak duduk di bangku kuliah S-1 pada akhir 1970-an, Murti pun mendirikan KPBA sebagai wujud kecintaan sekaligus keseriusannya dalam mengedukasi generasi muda Indonesia melalui bahan bacaan berkualitas.
Ia sadar betul, tak banyak orang di negeri ini yang memperhatikan dunia literatur anak. Selama Murti meneliti bidang tersebut untuk skripsi, tesis, hingga disertasinya, tak banyak orang yang ia temui memiliki minat yang sama.
Perempuan yang sejak kecil terbiasa membaca dan mendengar dongeng dari sang ibu itu pun memiliki dua perpustakaan pribadi di rumahnya untuk menyimpan koleksi buku anak dari 35 negara yang jumlahnya sudah mencapai 35 ribu buah.
''Saya menekuni bidang ini karena tidak banyak yang perhatikan. Padahal bacaan anak itu penting. Ini menjadi sarana pendidikan informal bagi anak yang seharusnya dimulai dari rumah. Tapi, hal ini mulai tergantikan oleh tren memasukkan anak ke sekolah sejak dini,'' tuturnya.
Baginya, pendidikan anak-anak melalui lembaga formal sejak usia 2-3 tahun tidak selamanya berbuah baik bagi mereka. Hal itu, menurut Murti, membuat anak terekspos dengan kewajiban dan beban lebih cepat daripada yang seharusnya.
Padahal, anak-anak butuh jeda untuk belajar berbagai hal tanpa dibebani kewajiban-kewajiban yang ada di sekolah. Belajar membaca seharusnya menjadi aktivitas yang bersifat santai dan informal. Anak harus dibiarkan membaca kapan saja, sebanyak, dan selama apa pun.
''Semaunya dia saja tanpa harus dibatasi jam-jam sekolah. Dengan begitu, anak akan mencintai membaca secara alamiah. Membaca pun tidak lagi dianggap kewajiban atau beban oleh anak,'' tukas perempuan berusia 65 tahun itu.
Kualitas menurun
Tak hanya kecenderungan itu yang membuat Murti galau. Pada era 1980-an, invansi buku-buku anak terjemahan kian jamak. Bahan bacaan lokal yang mengedepankan cerita rakyat Indonesia kian terpinggirkan. Kegelisahan tersebut lantas ia tuangkan, baik dalam misi pribadi mau pun lembaganya.
''Waktu saya kecil, masih banyak buku anak lokal yang bagus. Makin banyaknya buku terjemahan yang masuk menjadi salah satu alasan mengapa saya terjun ke dunia literatur anak. Saya ingin anak membaca bacaan lokal dan menjaga kekayaan sastra kita,'' ungkap ibu dua anak itu.
Apalagi hingga kini belum banyak bahan bacaar berkualitas di Tanah Air. Padahal, imbuhnya, pengarang dan penerbit buku kian banyak. Namun sayang, pengingkatan kuantitas itu tidak serta-merta diikuti peningkatan kualitas.
''Menumbuhkan minat baca anak tidak bisa dengan sekadar memberikan buku atau banyak-banyak menerbitkan buku anak dan berkampanye. Kualitas buku sebagai sarana edukasi harus diperhatikan. Kalau tidak bermutu, bagaimana mau dipakai untuk mengedukasi?'' imbuhnya.
Begitu pula, ia mengakui, tema bacaan anak-anak kini makin beragam. Murti mencontohkan, saat ini penulis buku anak sudah mulai berani membicarakan persoalan yang ada di tengah masyarakat dalam karya mereka, seperti masalah perceraian orangtua. Di luar negeri, tema-tema semacam itu sudah lazim termuat di bahan bacaan anak sejak 1960-an.
''Anak-anak perlu memahami persoalan di tengah masyarakat secara perlahan-lahan, seperti tentang konflik atau bagaimana menerima perbedaan. Penulis memang harus berhati-hati membahas ini. Sayang, banyak penulis kita yang tidak punya cukup bekal untuk itu,'' ucapnya.
Lantaran itu, ia dan KPBA kini tengah gencar menyelenggarakan lokakarya penulisan literatur anak di sejumlah universitas di Indonesia. Tujuannya melahirkan penulis-penulis buku anak baru yang mampu memperkenalkan berbagai dimensi kekinian masyarakat.
''Sebenarnya saya punya impian untuk menulis novel anak yang bertema seperti itu, tapi waktunya tidak ada. Saya ini meneliti iya, menulis iya, kumpulkan bahan, lalu mendongeng. Semuanya saya lakukan, sementara menulis itu butuh tenaga ekstra dan fokus khusus,'' tuturnya.
Perkaya pengetahuan
Setelah tiga dasawarsa bergelut dengan dunia literatur anak, Murti mengaku nyaris tidak mengalami tantangan yang dapat menggoyahkan langkahnya. Satu-satunya hambatan yang kerap ia temui adalah kurangnya kesadaran mitra di daerah akan pentingnya budaya membaca.
''Justru lebih sulit meyakinkan orang dewasa kalau pekerjaan ini penting. Kami bukan penderma yang memberikan buku lalu selesai begitu saja. Tugas kami menumbuhkan kecintaan pada bacaan itu sehingga anak-anak bisa mengembangkan dirinya. Kami ingin mitra kami memastikan apa yang sudah kami mulai itu terus berjalan,'' tukasnya.
Nenek tiga cucu itu menyadari tidak semua orang yang menekuni literatur anak berpikir bahwa pekerjaan itu harus didasarkan pada kecintaan terhadap anak-anak. Namun, masih banyak yang berorientasi pada keuntungan materi semata saat menggelutinya.
''Di bidang ini, kita harus tahu batas. Kapan waktunya kita harus cari untung, kapan kita harus mengedukasi. Bagi saya pribadi yang terpenting adalah buku bisa mengedukasi. Karena itu memberikan kekayaan tersendiri bagi anak-anak dan saya,'' katanya.
Bagi Murti, tidak ada yang dapat menggantikan kebahagiaan yang didapatkannya saat melihat antusiasme anak-anak penerima buku dongeng yang dia tulis. Mimik girang para bocah itulah yang menjadi kekayaan luar biasa untuknya.
''Ini hadiah buat saya yang tidak bisa dihitung dengan uang. Apa yang saya berikan, hasilnya luar biasa buat anak dan diri saya sendiri. Saya justru menjadi kaya secara moral dan pengetahuan. Inilah pilihan hidup saya,'' tanda perempuan yang sudah menulis 43 judul buku anak itu. (M-3)
Oleh Christina Natalia Sihite | Sosok | Media Indonesia | Jumat, 22 Juli 2011
0 komentar:
Post a Comment